Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fugue



Seorang pemuda melangkah gontai. Pakaiannya lusuh. Di punggunngya sebuah ransel menggantung murung. Sesekali kakinya menendang benda yang ia temui tergelatak di trotoar. Di tangannya sebuah kamera digital lumix dalam keadaan on. Sekali dua ia membidikkan lensanya. Ia membidik sekenanya. Indikator memori di displaynya menunjukkan angka 17. Berarti ia telah cukup banyak menjepretkan lensanya. Memorinya telah terpakai hampir 95 persen. Dan kini tinggal 17 jepretan lagi.
Akhirnya ia terdampar di bawah pohon yang rindang. Pada sebuah kursi ia mengusir lelahnya. Duduk dan meletakkan ransel di sampingnya. Lensa kameranya menutup otomatis. Sudah tiga menit kamera itu dalam keadaan idle. Hingga program auto off-nya berjalan sendiri. Ia seperti orang linglung. Ponsel di saku celananya bergetar dan mengalunkan truetonenya. Sebuah lirik lagu milik kelompok band terkenal mengalir indah. Ia merogoh sakunya dan menatap LCD ponselnya penuh tanya.
6 messages
Received
Dengan ogah ia menekan tombol “read”,
Sebuah nomor terpampang jelas.
+6288887668XXX
Brek, km gimn,sh? Kok g’ ngash kbr sm sekli?
Km dimn sekrng? Cpt plang!
Pesan berikutnya dari nomor yang sama dan isinya juga kurang lebih sama. Ia bingung membaca sms itu. Sama sekali ia tidak kenal siapa Jamila. Ia menekan tombol replay
Mf, anda slh krim kali!
5 detik setelah menerima report sending, lcd ponselnya menyala
Kak Jamila calling
Ia menekan tombol recieved.
“Hallo, “ terdengar suara yang asing di telinganya.
“Brek, kamu jangan bercanda dengan kakak! Aku takut terjadi apa-apa dengan kamu? Kamu dimana sekarang!? Brek, kamu dimana sekarang???
“Hallo… hallo…… brek!!! “
“Brek!!!!”
Ia menekan tombol end dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Sama sekali ia tidak kenal suara itu.
Orang aneh! Sudah tau salah sambung masih maksa, gumamnya.
Kembali ponselnya bergetar. Kembali ia merogoh sakunya.
Kak Jamila calling
Ia hanya memandangi display ponselnya itu. Ia biarkan saja ringtonenya mengalun. Belum sempat ia menerima panggilan itu. Terdengar nada bib indikator baterai ponselnya telah habis. Baterai is low…. ….. Detik berikutnya ponsel itu mati dengan sendirinya. Kembali ia memasukkan ponselnya.
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi di bawah pohon itu. Ia merasa amat letih.
“maaf mas, numpang tanya, kalau kampung rambutan sebelah mana, ya?” seorang pejalan kaki tiba-tiba menanyainya ketika matanya hampir terlelap karena lelah.
Ia tersentak kanget, “maaf saya tidak tahu!”
“o, terima kasih!” lelaki pe-nanya itu beranjak pergi.
Kembali ia menyandarkan tubuhnya. Kali ini kakinya ikut dinaikkan ke atas kursi. Ia berselonjor. Dan mulai menepis letih yang menderanya dengan memejamkan mata. Ia harap bisa terlelap meski sekejab.
“maaf, saya numpang duduk,” kembali ia dikejutkan oleh sebuah suara. Kali ini seorang gadis belia. “Saya sedang menunggu teman disini,”
“o, ya silahkan!” ia menarik kakinya, meletakkannya kembali ke tanah. Letihnya belum hilang. Tapi kini ia sudah tidak berhasrat untuk mengusir letihnya itu. Ia melirik gadis yang ada di sampingnya. Gadis yang lumayan manis. Sayangnya, ia sedang tidak ingin berkenalan dengan gadis itu. Ia mengeluarkan mp3 playernya dari ransel memasang headset phone di telinga dan menghidupkannya. Sebuah lagu milik Hoobastank mengalun.
“sedang menunggu siapa, mas?” gadis itu nampaknya memulai percakapan lebih dulu. Namun ia tidak begitu mendengar ucapan si gadis. Musiknya terlalu besar dan menghalangi pendengarannya dari suara lain. Merasa tidak enak, ia menekan tombol pause dan membuka salah satu headset di telinga kanannya.
“maaf, tadi saya tidak dengar!”
“anda sedang menunggu siapa?” dengan senyum terkembang si gadis kembali mengulang pertanyaannya. Mungkin sekedar basa-basi untuk membunuh kebekuan.
Lama ia terdiam. Ia bingung mau menjawab apa. Sebab ia memang sedang tidak menunggu siapa-siapa. Si gadis menunggu jawabnya sembari memperhatikan pola tingkahnya yang kelihatan bingung.
“saya tidak menunggu siapa-siapa!” jawabnya kemudian. Tapi masih saja di wajahnya terbersit kebingungan. Ia seperti orang linglung dan lupa ingatan.
“terus, si mas mau kemana kalau tidak sedang menunggu siapa-siapa?”
Kembali ia terdiam lama.
“Maaf kalau pertanyaan saya mengganggu. Oya perkenalkan, saya Shane,” gadis itu menyebutkan nama dan mengulurkan tanggannya.
Ia menyambut tangan gadis itu namun ia tidak bisa menyebutkan siapa namanya.
“nama, mas?”
Ia bingung. Pikirannya blank. Ia sama sekali tidak ingat siapa dirinya. Tak terkecuali namanya.
Tiba-tiba dari seberang jalan muncul seseorang memanggil gadis di sampingnya. Gadis di sampingnya, beranjak berdiri.
“maaf, mas. Saya harus pergi. Itu Selvia temanku sudah datang. “Terima kasih atas waktunya. Mungkin mas keberatan memperkenalkan diri mas,” gadis itu pun pergi dan menghilang bersama temannya di balik gang.
Ia masih saja bingung. Mengapa tiba-tiba ia tidak tahu siapa dirinya. Dan ia baru menyadari itu. Apakah ia amnesia. Tapi selama dalam perjalanan ia tidak mengalami kecelakaan atau benturan di kepalanya.
Ia merogoh saku, mengambil ponsel dan berusaha menghidupkan dengan baterai dalam keadaan lemah. Ponsel berhasil hidup. Ia membuka phonebooknya. Aneh, ia sama sekali tidak mengenali nama-nama yang tersimpan di ponselnya. Otaknya mungkin sudah kosong. Hanya berbagai pertanyaan yang tanpa dapat ia jawab berkelebatan dan mengisi pikirannya. Siapa dirinya? Darimana ia? Mau kemana?
***
Pagi cerah.
Brek mulai memasukkan barang-barang yang akan ia bawa pergi jalan-jalan, lebih tepatnya berpetualang. Ia baru seminggu di kota megapolitan ini. Ransel punggungnya cukup besar dan kuat untuk menampung berbagai keperluan. Apalagi yang ia bawa hanya sepasang baju, celana dan beberapa barang-barang pribadinya. Seperti parfum, kamera digital, mp3 player dan lain sebagainya.
Jamila memandanginya dengan penuh tanda tanya. Sebenarnya sah-sah saja pergi keluar mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah ia singgahi.. Tempat yang sama- sekali tidak ada di tempatnya sebelum seminggu yang lalu. Di kota tempatnya dulu tinggal, mal-mal dan pusat perbelanjaan tidak semegah di kota ini. Disana belum ada gedung pencakar langit semenjulang di kota ini.
Di dalam hati Jamila yang paling dalam terbersit kekawatiran akan kepergian Brek, adik semata wayangnya itu. Ia akan pergi seorang diri, belum lagi ia sama sekali tidak kenal kota ini. Brek memang senang berpetualang sejak kecil. Sewaktu di sekolah dasar ia sering pergi camping bersama teman-temannya. Ia senang sekali bergabung dengan kegiatan kepanduan di sekolahnya. Ia tidak memilih-milih tempat untuk menyalurkan hobinya itu. Yang penting asyik dan menantang.
“hati-hati di jalan…”
“kakak tenang, aja. Aku tau apa yang harus aku lakukan. Apalagi aku bukan anak kecil lagi. Umurku sudah dua kali sepuluh min 3!”
“ia, tapi kamu kan belum tau benar daerah sini, kalau tersesat gimana?”
“tersesat??? Kakak ini ada-ada saja. Mana ada jaman sekarang tersesat. Ada begitu banyak orang yang akan menjadi penunjuk jalan dan ada ponsel yang akan menghubungi kakak kalau tiba-tiba aku tersesat. Tapi itu tidak akan terjadi. Tersesat? Sebuah kata yang tidak ada dalam kamusku….” Ia memanyunkan mulutnya sambil mengankat kedua tangannya. Bahunya ikut terangkat.
Jamila hanya memandanginya lekat. Ada firasat yang seakan meminta untuk menahan Brek agar jangan pergi. Tapi ia menepis firasat itu, mungkin hanya sebuah kekwatiran yang berlebih. Apalagi apapun alasannya Brek tak mungkin dibendung untuk pergi.
“jangan lupa kirim pesan kalau ada masalah!”
“oke, bos!!”
“sarapan dulu, gih! Kakak sudah buat roti bakar kesukaan kamu!”
Brek beranjak ke menuju dapur dan melahab roti bakar kesenangannya. Jamila memandanginya dengan penuh sayang seorang kakak.
***
Ia masuk ke sebuah rumah sakit. Membeli karcis dan memesan nomor antri di poli umum. Petugas rumah sakit kebingungan. Sebab sama sekali ia tidak ingat namanya. Lebih tepatnya siapa dirinya.
“nama?”
“saya tidak ingat siapa nama saya?” jawabnya datar
“anda ini gimana, sih? Masak nama sendiri tidak ingat!” kata petugas itu heran. Jangan-jangan orang ini gila, pikirnya.
“makanya saya datang ke rumah sakit ini sebab saya tidak ingat siapa saya”
Petugas itu menatapnya penuh tanya. Tidak terkecuali ransel di punggungnya. Kini petugas itu mulai curiga melihat ransel di punggungnya.
Segera ia memanggil satpam. Kemudian dua orang satpam menyeretnya. Membawanya ke pos keamanan dan mengacak-acak ranselnya. Namun satpam tidak menemukan apa yang mereka cari. Mereka hanya mendapatkan mp3 player, kamera digital, dan beberapa barang lainya yang nampaknya tidak begitu dicari satpam itu.
Akhirnya ia diijinkan untuk menemui dokter di poli umum dengan nama NN. Sebab sejauh itu ia belum bisa menyebut siapa dirinya.
“secara medis anda tidak mengalami masalah!” kata dokter setelah memeriksanya. “Namun saya sarankan anda ke MRI atau minimal CT scan. Untuk lebih memastikan diagnosa saya tadi benar atau salah. Menemui dokter ahli juga menjadi keharusan sebelum anda ke CT scan. Namun, sekali lagi, diagnosa saya, anda sama sekali tidak ada masalah. Dari hasil rontgen yang saya lihat, otak anda tidak mengalami gangguan ataupun peradangan.”
Ia semakin bingung dengan pejelasan dokter. Ia keluar rumah sakit dengan perasaan yang sangat kacau. Resep obat dari dokter ia buang begitu saja ke tempat sampah.
***
Seorang pemuda melangkah gontai. Pakaiannya lusuh. Di punggunngya sebuah ransel menggantung murung. Disampingnya seorang perempuan cantik mengiri langkahnya menuju rumah mungilnya. Di tangannya sebuah kamera digital lumix dalam keadaan off. Memori kameranya telah habis. Begitu juga dengan mp3 playernya, file lagu-lagunya telah terhapus tanpa sengaja.
Menurut penjelasana dokter ia kena Dissosiative Fugue.  Suatu penyakit yang menyebabkan dia kehilangan hampir seluruh memorinya. Ia tidak ingat siapa namanya. Siapa dirinya. Tak ada yang bisa dia ingat. Kakaknya, Jamila, juga tidak mampu ia ingat. Beruntung setelah menemui dokter ahli ia tertolong publikasi wartawan hingga kakaknya bisa melacak keberadaanya. Sayangnya ia sama sekali tidak mengenali siapa kakaknya itu. Namun sewaktu kakak tersayangnya itu mengajaknya kembali ke rumah ia tidak menolak. Rumah yang baru seminggu ia tempati. Kini ia memulai hari-harinya dari nol. Foto-foto hasil jepretannya sedikit membantu memulihkan memorinya yang hilang.

Nirmala, 2007-02-17
Terinspirasi sebuah berita di JP tanggal 15-02-2007

Posting Komentar untuk "Fugue"