Sekolah Marginal Kepulauan
Di salah satu sudut Kabupaten Sumenep, ada sebuah bangunan persegi panjang semi permanen. Atapnya asbes gelombang yang bolong disana sini, dinding dindingnya terbuat dari papan-papan yang dipasang tidak begitu rapat. Di beberapa tempat, dingding itu lapuk dimakan air, atau berlobang digerogoti rayap. Lantainya asli, tanah liat yang dibiarkan begitu saja bercampur kerikil-kerikil. Jika kemarau, berdebu menyesakkan nafas, dan jika penghujan becek seperti kandang bebek. Di dalam ruangan itu tidak ada gambar presiden dan wakilnya, tidak ada gambar pahlawan-pahlawan, satu-satunya gambar adalah gambar kalender mati 3 tahun kemarin, berisi foto seorang anggota dewan dengan jargon-jargon yang dibawanya, manis tentunya untuk kepentingan kampanye, namun terasa pahit ketika mereka sudah duduk di kursi panas DPR/D. Oya bangunan persegi panjang itu bernama sekolah.
Di sekolah itu, di ruang kelas bagian depan
terdapat papan tulis yang sudah tidak lagi hitam. Warnanya memudar dimakan
waktu, kapur sebagai alat tulisnya seringkali lembab. Bangku-bangku berderet
seperti kursi bus tua. Mejanya bergoyang-goyang labil ketika tangan-tangan
kecil belajar menulis di atasnya. Sangat tidak nyaman. “malaikat-malaikat”
kecil yang duduk belajar di situ bertelanjang kaki, atau bersandal jepit,
kalaupun ada yang bersepatu itupun satu dua. Seragam yang mereka pakai lusuh,
kucel, kumal, dan kebanyakan resleting celananya sudah tidak berfungsi atau
kancing bajunya sudah tidak lengkap. Bahkan ada beberapa yang tidak berseragam.
Buku yang mereka bawa tidak banyak, mungkin satu atau tiga, atau empat buah.
Tidak ada buku paket, semuanya buku tulis. Semua lusuh dan dimasukkan dalam
plastik kresek agar jika hujan tidak basah kena air hujan.
Satu ruang dimanfaatkan oleh dua rombongan belajar. Kelas satu, satu ruang dengan kelas dua. Kelas tiga, satu ruang dengan kelas empat. Dan kelas lima, satu ruang dengan kelas enam. Artinya sekolah itu memiliki tiga ruang kelas untuk enam rombongan belajar. Tidak ada ruangan khusus kantor atau ruang guru. Tidak ada perpustakaan. Tempat menyimpan arsip-arsip sekolah sepenuhnya mengandalkan rumah kepala sekolah yang jaraknya berkilo-kilo meter dari sekolah. Atau kalaupun di sekolah ada lemari, usianya bisa dipastikan renta dan tidak lebih hanya untuk menyimpan buku-buku ala kadarnya, mungkin buku itu pun cuma satu dua. Sangat tidak lengkap dan tidak memadai. Tidak alat peraga. Jelas kondisi seperti ini tidak kondusif untuk KBM dengan metode PAKEM yang menyenangkan.
Jika dilihat dari jauh, bangunan ini sama
sekali tidak menampakkan wajah sekolah, mirip pun tidak. Bahkan bagi yang baru
pertama kali melihatnya, mungkin akan berfikiran bahwa itu adalah (maaf)
kandang sapi atau kandang kambing. Sungguh mengenaskan. Namun di situlah
“malaikat-malaikat” kecil itu menggais ilmu pengetahuan. Bertemankan lumpur dan
debu. Hujan dan sengatan matahari. Di tempat itulah mereka membangun mimpi.
Atau hanya membunuh hari-hari.
Tentu tidak semua murid betah di situ. Atau
meskipun betah mereka masih harus bertoleransi dengan keinginan orang tuanya
agar membantu mereka bercocok tanam, menggembala ternak atau menjaga adik
mereka selagi orang tuanya turun ke ladang atau membuka hutan. Banyak juga
anak-anak itu tidak beribu bapak. Bukan karena mati. Tapi karena orang tua
mereka ke luar negeri demi menyambung hidup menjadi TKI/TKW.
Membayangkan saja sekolah ini sudah sangat
memilukan, apalagi jika melihat langsung. Tentu sekolah sejenis ini jumlahnya
bukan hanya satu, karena banyaknya pulau-pulau terpencil dan terbelakang yang
secara administratif masuk wilayah Kabupaten Sumenep. Meskipun sebenarnya
secara sosial budaya banyak yang berbeda dengan Sumenep (daratan). Saya ambil
contoh salah satu sekolah sejenis itu yang ada di pulau Kangean—SDN Cangkramaan
Kec. Kangayan, bayangkan perjalanannya jika dari Sumenep berikut:
Dari pelabuhan Kalianget naik kapal Sumekar 1
atau Sumekar 2 (kapal jenisroro) atau bisa kapal perintis dengan waktu tempuh
kurang lebih 9 jam hingga ke pelabuhan Kangean. Dari pelabuhan naik ojek atau
angkot hingga kecamatan Arjasa—di Arjasa inilah biasanya guru guru Sumenep
mukim. Dari Arjasa naik ojek dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dan tarif
minimal 50 ribu. Bukan jaraknya saja yang jauh melainkan medannya yang sangat
berat, jalanan tidak beraspal, melainkan berbatu cadas sebesar kepala, naik
turun gunung, dan melintasi hutan, baru kemudian sampai. Jalan itu hanya bisa
dilintasi pada saat musim kemarau saja. Jika musim penghujan, jalan akses itu
sepenuhnya lumpuh karena terendam lumpur. Maka jalan satu-satunya untuk sampai
ke sana dengan memutar lewat sungai dan teluk kecil dengan perahu
kecil.
***
Membincang sarana dan prasarana pendidikan yang
ada di kepulauan dibandingkan dengan daratan ibarat langit dan bumi. Meski
tidak semua sekolah yang ada di kepulaun seperti yang saya gambarkan di atas.
Namun secara umum, diakui atau tidak sekolah-sekolah di daerah kepulauan jauh
lebih memprihatinkan dibanding di daratan.
Jangan membayangkan ada koneksi internet
untuk update perkembangan ilmu pengetahuan atau metode pembelajaran,
LCD Proyektor untuk alat bantu pembelajaran, sound sistem untuk mengiringi
senam (SKJ), listrik saja hidupnya “nokturnal”, alias beroperasi ketika malam
saja dimana pembangkitnya memanfaatkan tenaga diesel, dan sebagian besar yang
mendapat sambungan hanya di daerah kota kecamatan saja, sementara di
pelosok-pelosok tetap gelap gulita, memakai minyak tanah untuk penerangan,
padahal di pelosok-pelosok inilah banyak sekolah tersebar, khususnya tingkat
sekolah dasar.
Mulai dari ruang kelas yang kurang
representatif, tidak adanya media pembelajaran, minimnya alat bantu belajar,
miskinnya perpustakaan, lokasi yang terpencil dan akses yang sulit hingga
persoalan tenaga pendidik yang malas dengan kapasitas pas-pasan. Sementara
pemerintah tetap menerapkan standar kelulusan (baca: mengharap kualitas) yang
sama antara sekolah kepulauan dengan sekolah-sekolah daratan atau perkotaan.
Inilah sebenarnya persoalan mendasar yang berkelit kelindan secara terus
menerus, walhasil kepincangan pendidikan di daerah kepulauanpun tidak
terelakkan.
Di lain pihak, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab IV pasal 5 ayat 1
mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Dan pada Bab XII Pasal 45 ayat 1
mengatakan, setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana
dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik.
Memang benar bahwa semua sekolah mendapat bantuan operasional (BOS) yang sama (sesuai jumlah murid). Namun tetap saja masih banyak sekolah-sekolah yang terbelakang. Saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan bagaimana dana BOS dimanfaatkan dengan tidak efektif untuk pendidikan bermutu dan berkeadilan.
*Tulisan ini dimuat di salah satu majalah kampus
How to register on a new casino in the UK | DRMCD
BalasHapusLearn how 구미 출장마사지 to register on a new 아산 출장샵 casino in the UK - read 성남 출장안마 the online gambling 안성 출장안마 guide and find 수원 출장마사지 out about the welcome offers.